Aku Guru Honorer, Aku Ridho
Terinspirasi dari Kisah Guru Honor yang Menyabet Prestasi Nasional
Kekuasaan memang telang membelenggu
Membelenggu seperti kami rakyat jelata
Membuat kami semakin tak berdaya
Menjadikan kami semakin terpuruk kian terpuruk
Tapi selama iman masih ditangan
Maka keadilan akan terus kami perjuangkan
Gemuruh
adzan dari meunasah menghiasi kota Solok, menjadikan syahdu suasana mengawali
pagi. Memberi harapan-harapan baru kepada penjuru bumi. Menyambut mentari dengan mimpi dan
semangat berapi. Mengubur kegundahan masa lalu. Ku sisingkan kedua lengan
bajuku, dan mulai membasuh wajah ku.
“Bissmillah
hir rohman nir rohim”
Syair-syair
Tuhan mulai ku lantunkan, gerakan tangan mulai mengawali, membasuh semua
anggota wudhu yang aku mengerti. Kemudian
ku panjatkan doa-doa pada penguasa pagi, panjatan doa seorang hamba kepada
Tuhan-Nya agar Dia selalu melindungi ku, harapan seorang anak adam akan
keridhoan apa-apa yang aku lakukan.
Bersama
keluarga kecilku, ku menjalani hidup apa adanya. Suamiku yang sangat menyayangiku
dan ketiga buah hatiku Arif, Pura dan Bila yang selalu mampu membuat ku
tersenyum di sela-sela kesibukan dunia yang ada. Mereka adalah penyemangat hidup, harta berharga yang
Tuhan titipkan kepada ku.
Pagi
ku menyongsong, mentari bersinar syahdu, cahayanya menerobos di balik
dinding-dinding rumah khas minang. Pagi yang sangat indah, hari ini ku bersiap
diri. Dengan seragam kebanggan ku, ku berangkat, ke sebuah sekolah tercinta. Tempat
ku mengabdi dan berbagi ilmu dan pengalaman, dan tempat ku mengadu nasib,
mengais rupiah demi rupiah, demi kebutuhan keluarga ku.
Aku
adalah seorang guru di sebuah sekolah negeri di kota ini. Walaupun mengajar di
sekolah negeri, nasib ku pun tak ubah seperti berjuta guru yang lain yang tersebar
di seluruh penjuru nusantara. Guru honorer itu biasa kami disebut. Guru yang
bukan pegawai negeri sipil, yang diangkat oleh kepala sekolah itu sendiri. Dan
keberadaannya pun kadang dimarjinalkan. Upah kami sangat jauh dari pendapatan
minimum para pekerja. Bahkan kadang lebih besar gaji tukang bangunan ataupun
pedagang asongan sekali pun.
Guru
honorer hanya menerima upah sebesar Rp. 150-350 ribu/bulan. Gaji yang sangat
kurang buat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Berbeda sekali dengan gaji seorang
guru PNS, yang gajinya antara Rp. 1,5 juta sampai bisa lebih dari 2,5 juta per
bulan. Tapi aku bersyukur dengan semua yang Allah berikan padaku adalah rizki
yang luar biasa.
Demi
mencukupi kebutuhan sehari-hari, ku mengajar di dua sekolah sekaligus. Dan
bahkan aku sering meminta jam tambahan untuk megajar demi mendapatkan rezki
tambahan. Aku mengajar pendidikan agama islam (PAI). Bu Nur biasa anak-anak
memangil ku, dan Nurbaya nama lengkap ku. Bagi ku gaji menjadi alasan ke sekian
untuk ku mengajar, dan yang terpenting adalah mengajar, mendidik dan menjadiakan
murid-murid ku
orang-orang hebat yang akan membangun negeri ini.
Sudah
15 tahun aku mengabdikan diriku menjadi seorang guru. Bagi ku guru adalah
pekerjaan yang paling mulia di antara pekerjaan yang lainnya. Ada kepuasan
tersendiri ketika aku menjadi guru, melihat anak-anak menjadi orang yang lebih
sukses, itu adalah sebuah penghargaan
tersendiri.
Dan menjadi guru honorer sebenarnya itu bukan pilihan ku. Ketika aku
berkhendak, aku juga ingin seperti
guru yang lain, menjadi guru pegawai negeri sipil. Guru yang diakui pemerintah,
mendapatkan gaji yang lebih layak lagi, dan mendapatakan fasilitas yang memang
sangat kami butuhkan.
Aku
pernah beberapa
kali ikut seleksi tes CPNS, tapi mungkin Allah belum memberi izin. Maka dengan
terus melakukan yang terbaik sampai saat ini aku ridho sebagai guru honorer. Namun
walaupun aku guru honorer tapi aku pun tidak mau kalah dengan guru-guru PNS dan
guru-guru senior lainnya. Maka dengan kerja keras dan terus berusaha yang
terbaik aku percaya suatu saat nanti akan ada balasan yang terbaik bagi ku.
Maka
aku pun berusaha segigih mungkin untuk menjadi yang terbaik. Aku pun memborong
jam pagi dan sore demi memenuhi kebutuhan kami. Mengorbankan sebagian waktuku
bersama keluarga yang sangat aku cintai. Bukankah hidup adalah sebuah pilihan,
pilihan apakah kita akan terus maju dan gigih berjuang atau kita akan berhenti
dan menyerah di sini, dan jawaban ku sudah tentu, aku akan berjuang.
Maka
aku pun tidak mau kalah dengan guru-guru yang lain. Aku pun mulai rajin mencari informasi mengenai ajang
perlombaan antar guru, khususnya di bidang karya tulis yang diadakan oleh
pemerintah. Maka aku pun lebih berusaha
keras
dan lebih menekuni dunia karya tulis tersebut. Hingga akhirnya
perjuangan-perjuangan ku pun membuahkan hasil. Awal pertama kali aku mengikuti
sebuah lomba karya tulis ilmiah yang diadakan oleh Kementrian Agama Kota Solok.
Maka aku berusaha membuat yang terbaik, dengan mengangkat tema tentang model
pembelajaran pedidikan agama islam, Alhamdulillah akhirnya aku
berhasil mendapat juara 1 tingkat Kota Solok.
Rencana
Tuhan itu pasti selalu baik, di balik segala yang kita anggap buruk sebenarnya
di sana tersimpan
seribu rahasia yang sangat luar biasa yang telah diperisapkan Allah untuk kita.
Dan aku pun percaya bahwa apa yang kita lakukan, apa yang kita kerjakan, selama
itu baik dan membawa manfaat, maka Allah akan menggantinya dengan
berlipat-lipat kebaikan dan kasih sayang untuk kita.
Sebagai
seorang guru honorer yang berpenghasialan kurang dari keadaan sebenarnya,
pernah membuat ku kadang berfikir untuk mencari pekerjaan yang lain saja. Tapi
ternyata hati ini telah tertambat kepada anak-anak yang mengajarkan ku tentang
berbagi kehidupan. Yah mungkin ini yang dirasakan oleh kebanyakan guru non-PNS
di seluruh penjuru nusantara. Kebutuhan hidup yang sangat tinggi dan gaji yang
sangat minim, sering membuat kami putus asa untuk terus mengabdi. Padahal
kadang kualitas kami, sebagai guru honorer lebih baik dari guru PNS kebanyakan.
Tapi inilah hidup, kadang yang baik malah terpuruk dan yang belum tentu baik
malah mendapatkan singgasana dunia. Tapi aku harus tetap bersyukur apa adanya.
Anugrah
mendapat juara 1 se-Kota Solok membuat ku lebih terpacu untuk mengukir prestasi
lebih baik lagi. Dan ternyata perjuangan ku pun tidak sia-sia. Berbekal tulisan
setebal 200 halaman, aku pun berlanjut ke tingkat provinsi, dengan tema
menjadikan generasi cerdas yang agamis melalui sistem ajar professional dengan
pemanfaatan media pembelajaran. Aku mengengkat tema itu karena aku sadari, minat
siswa-siswi terhadap mata pelajaran pendidikan agama islam (PAI) sangat lemah.
PAI kurang diminati layaknya bidang studi lain. Berdasarkan hasil pengamatan ku
selama enam bulan, maka aku pun menyimpulkan bahwa ini semua disebabkan faktor
kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Maka aku pun mencoba untuk menarik
minat siswa agar menyenangi belajar PAI lagi. Dan Alhamdulillah aku pun dinobatkan
sebagi juara II tingkat Provensi Sumatra Barat.
Prestasi
yang sangat membanggakan bagi ku pribadi, karena aku harus bersaing dengan
guru-guru PNS dan guru-guru senior yang kualitasnya sudah dipastikan lebih baik
dariku. Sebagai guru honorer, aku kadang masih merasa takut karena guru honorer
bukanlah pegawai tetap. Kami bisa dipecat dari pihak sekolah kapan saja, ketika
mereka tidak butuh kami lagi. Ya guru honorer bukanlah guru tetap, atau sering
di sebut GTT
(guru tidak tetap). Pengangkatan kami dilakukan oleh kepala sekolah tempat kami
mengabdi, ketika mereka membutuhkan guru untuk mengajar di instansi mereka.
Memang sangat malang guru honorer di negeri ini, bahkan ada yang sampai puluhan
tahun mengabdi, tapi mereka tidak juga diangkat menjadi pegawai tetap. Dan
ketika mereka sudah pensiun, nasib mereka sangat mengenaskan. Dan moga itu
tidak terjadi kepadaku juga. Wa Allah hu
a’alam.
Maka
tugasku sebagai manusia hanyalah, berusaha sebaik mungkin. Aku pun terus, ikut berkompetisi,
dan akhirnya inilah tantangan yang lebih berat dari sebelumnya. Setelah kepala
sekolah tempat ku
mengabdi menawariku untuk berkompetisi di tingkat nasional, maka aku pun
memberanikan diriku untuk melangkah. Namun tantangan kali ini jauh lebih besar,
aku mewakili nama Sumatra Barat, tanah kelahiran ku untuk bersaing di tingkat nasional. Sudah tentu
pesaingnya pun guru-guru yang hebat, telah teruji dan professional, dengan jam
terbang tak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan ku pastinya. Tapi aku tak
mau menyerah, dengan niat “ Bismillah hir rohman nir rohim” ku kuatkan niat ini, ku mantapkan langkahku.
Maka
aku pun mulai mengikuti seleksi tahap demi tahap. berbekal tema yang sama, aku
melangkah. Dan aku pun mengikuti seleksi dengan sebaik mungkin. Sampai pada
seleksi presentasi, aku lebih gencar berusaha dan berdoa. Menunggu pengumuman, aku pun
berharap yang terbaik pada Allah.
“Jika
memang ini rizki ku, maka izinkan aku untuk menyambut rizki itu ya Allah”, doa
ku disela-sela sujudku.
Sepekan
kemudian pengumuman pun keluar, sungguh serasa kaki ini ingin lumpuh, tubuh ini
menggigil seketika. Yah,
Allah perkenankan aku menjadi salah satu yang terbaik, aku mendapat juara
harapan terbaik II tingkat nasional.
“Maka ni’mat Tuhan mu mana lagi yang akan engkau
dustakan?”
Air
mata bahagia ini pun tak tertahankan, seketika aku sujudka tubuh ini, bersyukur atas segala keni’matan yang
tiada tara. kemudian aku pun meminta restu suami dan buah
hatiku untuk ke Jakarta,
Menerima piala Plus Tabanas oleh Kementrian Agama RI.
Sungguh
sama sekali
diri ini
tidak menyangka, seorang guru honorer yang jauh dari ibu kota negeri ini
menjadi salah satu yang terbaik. Maka itu pertama kali aku menaiki pesawat,
pertama kali menjajakan kakiku di ibu kota Indoneisa, pertama kali melihat
menara dan gedung-gedung tinggi menjualang. Air mata bahagia ini mengalir apa
adanya.
Maka
ketika aku diminta maju ke panggung yang bagiku sangat megah, menerima piala,
maka seketika itu tulang ini terasa menggigil, air mata ini menetes dengan
sendirinya. Piala itu di serahkan oleh direktur PAIS, Dr.H. Amin Haidari, M.Pd.
Dan aku pun berkata
disela-sela sambutan ku "piala ini saya persembahkan untuk
semua guru honorer di Indonesia”. Sungguh bahagia yang tidak bisa aku ungkapkan
dengan kata-kata.
Menjadi
guru honorer bukan berarti menghalangi kita untuk meraih prestasi, bukan berarti
kita takut berkompetisi dan menjadi lebih baik lagi. Semua guru adalah sama,
satu tujuan, satu visi dan satu misi, membangun generasi Indonesia lebih baik
lagi. Menjadikan siswa-siswa kita berhasil adalah suatu kebanggan yang tidak
bisa diukur oleh intan dan permata.
Namun
sebagai guru honorer dan mewakili perasaan dan keluh kesah guru honorer yang
lain. Jangan membeda-bedakan antara guru PNS dan guru honorer seperti kami,
karena semua guru adalah sama, sama mengabdi dan berbagi. Dan guru-guru yang
sudah lama mengabdi kiranya bisa di angkat menjadi guru tetap. Karena abdi
mereka pada negeri ini sudah lama, dan kami pun mengharapkan sebuah pengakuan
dari pemerintah, atas keberadaan kami. Agar kami bisa dapatkan hak kami, Untuk
memenuhi kebutuhan kami, dan untuk keberlangsungan kami di hari kelak.
Mohon
pemerintah lebih adil dan tidak menutup diri dengan segala perkara yang ada.
Bahkan ada DPR yang tidak tahu tentang keberadaan kami. Sungguh itu sangat
miris sekali bagi kami, karena kami sudah menganggap mereka sebagai orang tua
kami. Orang yang menyalurkan aspirasi kami kepada petinggi negeri ini. Entah sampai kapan kami seperti ini,
tapi sungguh saat ini aku ikhlas menjalani kehidupan ku.
Semarang, 04 Januari 2013
* Nurbaya, S.Ag, mengajar di SMKN 1 Kota Solok Sumatera Barat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar