Anugerah Di Penghujung Asa*
Malam ini sedikit tetes air hujan membasahi bumi, hanya
sedikit, namun toh itu memberikan sedikit penghidupan bagi yang mengharapkan,
mengembalikan setitik semangat bagi jiwa yang membutuhkan
dan memberikan secuil kabar gembira bagi yang menantikan.
Diantara
dinginnya malam, seorang pemuda berdiri di antara rumput dan pepohonan, di antara
jalan dengan suara kebisingan, ya dia sendiri, hanya sendiri. Sedikit bibirnya
tersinggung semu, antar bahagia atau kecewa, toh siapa yang peduli. Senyumnya
tersembunyi dibalik gelapnya malam, yang terlihat hanya sinar matanya yang
memandang jauh, menerawang entah negeri mana yang saat ini ia tuju. Selalu,
senang sekali ia bersembunyi dibalik malam gelap, menelisik setiap kerinduan
perjuangan masa lalu atau bermimpi akan pencapaian masa depan. Ya seperti malam
ini ia lakukan. Menyendiri.
Semua
memori otaknya kembali ke masa lalu, flashback
pada semua perjuangan kala itu. Sebuah perjuangaan yang mengaduk semua perasaan,
tangis, sedih, gembira, duka, cita, cinta, semangat, mimpi dan pengharapan. Toh
apalah guna mengingat itu semua, bukankah itu semua sudah berlalu, namun pemuda
itu selalu saja asik mengingatnya.
Antara
syukur dan terharu, antara bahagia dan kecewa. Ya, saat ini usianya menginjak
22 tahun, belum banyak prestasi yang ia dapat, belum ada kontribusi besar yang
ia berikan dan belum sempat ia membahagiakan orang tuanya, namun ia bersyukur
atas jalan yang Tuhan telah pilihkan untuknya. Jalan yang tidak pernah ada
dalam lembaran mimpi maupun dalam bayangannya, namun Tuhan memberikan lebih
atas doa-doanya.
*****
“Bapak
saya ingin kuliah pak. Masalah biaya insyaallah Idun akan daftar beasiswa, biar
bapak dan ibu tidak terlalu keberatan menanggung biaya kuliah idun. Bapak dan
ibu doakan saja, semoga idun sukses dan bisa membahagiakan bapak ibu”
Itulah
kata-kata yang pertama kali terucap, dengan sedikit ketakutan namun terucap pasti,
ia katakan kepada orang tuanya. Ya anak kecil yang biasa dipanggil Idun oleh
orang tua dan orang-orang di desanya itu seorang anak petani. Bapaknya seorang
buruh tani dengan usia renta. Sakit-sakitan mulai usia mudalah yang menjadikan
bapaknya sudah tidak lagi bisa dikatakan layak kerja. Ibunya hanya seorang
pedagang sayur keliling, yang setiap hari bangun dikala mentari belum datang
menjelang, dan dibalut dengan dinginnya daerah kaki pegunungan, namun satu hal,
ia tak pernah lelah menghadapi kejamnya kehidupan. Sosok orang tuanya lah yang
membangkitkan semangat, mimpi dan cita-cita Idun menjadi orang besar. Menjadi
orang yang meniupkan sedikit kebahagiaan di keluarganya, dan menyinggungkan
senyum kebanggaan di bibir orang tuanya. Ya Idun ingin mereka bangga.
“Bapak
dan Ibu hanya bisa mendoakan le, agar kamu menjadi orang sukses” kata-katanya
bergetar namun penuh dengan keikhlasan. Entah apa yang difikirkan orang tua
itu, mungkin rasa takut ketika ia tidak bisa memberikan yang terbaik bagi
anaknya, tidak bisa mencukupi semua kebutuhannya, namun disana juga ada rasa
bangga atas keberaniaan anaknya. Jarang sekali pemuda desa sini yang mau
kuliah, kebanyakan setelah lulus SMA pastinya mereka kerja atau malah langsung
menikah. namun satu hal yang orang tua itu percaya “Allah maha menghidupi” maka
biarkan Tuhan yang menjaga anaknya dikemudian hari.
#####
Air
mata pemuda itu membasahi pipi, tak terasa, begitu saja mengalir. Selalu saja
begitu, ketika ia mengingat orang tuanya, maka selalu air matanya pun tak mampu
ia bendung. Pengorbanan dan perjuangan bapaknya semasa ia ingin kuliah selalu
terbayang. Doa tulus dari sang ibu di setiap sujudnya selalu saja teringat.
Pemuda itu tahu bapak ibunya tak lagi semuda dulu kala. Tubuh yang dulu tegap
saat ini sudah bungkuk, tangan yang dulu begitu kuat saat ini mulai lemah, dan
rambut yang dulu hitam kini sudah mulai putih, ditumbuhi uban diseluruh kepala.
Namun pengorbanan dan perjuangan mereka untuk putranya itu begitu besar. Ia tak
tahu apakah ia masih diberikan waktu untuk dapat membahagiakan kedua orang
tuanya. Namun satu hal, doa setiap malam dan di kala sujudnya adalah berikan
waktu untuk ia membahagiakan orang tuanya. Ia janji tak akan menghianati
pengorbanan mereka, ia janji tak akan pernah menyia-nyiakan hidupnya, dan ia
janji akan membalas semua kasih sayang orang tuanya.
*****
Perjuangannya
untuk meraih mimpi menuntut ilmu di kampus harapannya pun dimulai. Setelah ia
dinyatakan lulus dari sebuah pondok di Jawa Timur, ia mendaftar berbagai jalur
di perguruan tinggi ternama. Siang malam ia belajar, doa pun selalu ia
panjatkan, restu dari bapak, ibu, keluarga, saudara-saudaranya, kiyai, nyai,
ustadz-ustadzah, dan teman-temannya pun ia minta. Namun satu hal, ternyata
Allah belum mengizinkan ia menggapai mimpinya, meraih cita-citanya dan menepati
janji kepada orang tuanya. Allah masih ingin ia berjuang dan mendekatkan diri
kepada-Nya. Padahal berapa kali sudah ia mendaftar, berapa kampus sudah ia
jelajahi dan berapa puluh beasiswa ia coba, sampai ia hafal seluk beluk semua
beasiswa, sampai ia hafal seluruh kampus yang ada di negeri ini. Betapa
sungguh-sungguhnya ia ingin belajar, namun satu hal kenapa Allah belum
meridhoi.
“Gusti,
Apakah kurang doa ini ku panjatkan? apakah kurang belajar siang malam yang
sudah aku lakukan. Atau ada rencana lain yang ingin kau tunjukan” Tangis itu
pun pecah di kala sujudnya. Ingin ia marah dan menghardik Tuhan, namun ia tahu
bahwa itu tak berguna.
Ia
ingat dikala semua perguruan tinggi di negeri ini sudah tak ada tempat untuknya
maka ia disarankan untuk mendaftar beasiswa ke Timur Tengah oleh ustadznya.
Maka ia pun memberanikan diri untuk mendaftar, dan hanya berbekal satu tekad
yaitu niat kuat untuk kuliah. Ia ikuti semua prosedur yang ada, hingga ia
berjalan kesana kemari untuk mengurusi semua tahapan yang ada, padahal ia belum
tahu tempat-tempat yang ia datangi, namun berbekal niat yang kuat ia langkahkan
kaki melawan kerasnya hidup ini, hingga ia lupa satu hal, restu ibunya. Karena
keegoisannya untuk kuliah ia mengabaikan ibunya, acuh atas kekhawatiran orang tuanya,
dan tak menghiraukan setiap air mata yang keluar dari mata ibunya setiap kali
ia ingat anaknya. Maka di saat ia akan berangkat menuntut ilmu ke luar negeri,
pecah sudah kegundahan hatinya. Tak ingin ia menyaakiti hati ibunya, belum siap
pemuda ini meninggalkan keluarganya, dan tak ingin ia jadi anak durhaka. Maka
ia batalkan semua niat dia, mimpi dia, harapan dia dan cita-cita dia untuk
kuliah tahun itu juga. Ia korbankan dan ia pendam dalam-dalam niat untuk
kuliah, ia kubur dengan rasa perih dan sakit hatinya. Keinginan dia untuk
kuliah tahun itu pun sirna, ia hanya termenung dalam diam. Membakar semua
mimpi-mimpi yang dulu pernah ia tulis, merobek semua catatan rencananya yang
telah ia bangun dan mengubur semua nadzar yang telah ia panjatkan.
*****
Senyum
tersinggung dalam bibirnya, sungguh dia selalu saja ingin mentertawakan dirinya
kala itu, mentertawakn semua kejadian di masa lalu. Sungguh baginya itu adalah
masa yang paling berat, masa di mana ia bertarung antara keinginan dan realita,
antara mimpi dan kenyataan dan antara niatan diri dan takdir Tuhan. Ia ingat
sekali setelah ia membatalkan diri untuk berangkat ke luar negeri, maka itu
adalah akhir dari semua harapan dia untuk kuliah tahun itu, dan ia harus
menunggu satu tahun kemudian untuk mencoba lagi. Maka waktu satu tahun itu
adalah masa yang paling kelam dalam hidupnya, masa yang paling berat dan masa
yang tak dia inginkan. Ia seperti orang linglung, seperti orang yang tak
memiliki lagi keinginan untuk hidup dan itu adalah titik terendah dalam
hidupnya. Betapa besar niatnya untuk kuliah namun semesta tidak mendukungnya.
Maka
satu tahun ia habiskan dengan kesibukan bekerja, bekerja apapun dan dimanapun.
Ia mencari ke seluruh sudut kota, mencari selembar kertas yang tertempel dengan
tulisan “Dibutuhkan seorang karyawan” atau kata-kata yang ia bisa datangi dan
ia bisa menawarkan diri. Mencari kesibukan untuk menghilangkan rasa sedihnya,
mencari kegiatan untuk menghapus air matanya, dan mencari sebuah tempat untuk
melupakan semua keinginannya.
Sering
kali ia berteria-teriak sendiri tak jelas maksudnya, termenung dibelakang
rumah, dan berdiam diri di depan televisi hingga orang tuanya tak mampu untuk
melihatnya. Ia ingin menghilangkan rasa sakit ini namun itu tidak bisa
dihilangkan.
Ia
pun terus mencari pekerjaan, ia langkahkan kaki setiap hari untuk pergi ke
kota, mencari pekerjaan, bukan untuk mendapatkaan uang tapi untuk menghilangkan
kekecewaan dalam hatinya. Beban ini lebih berat dari pada diputus cinta kawan,
sungguh.
Maka
ia dapatkan pekerjaan sebagai penjaga warnet dengan bayaraan hanya tiga belas
ribu rupiah setiap hari. Baru saja ia bekerja satu minggu di sana, ketika
pulang malam ia ditodong preman dan dihajar masa oleh preman kampung tetangga
sebelah. Sungguh ironi, malam hari dengan segala kesedihan yang ia miliki, ia
dihantam bogem-bogem preman yang tak tahu diri, namun satu hal ia tak merasa
sakit, lebih sakit hatinya saat ini dari pada pukulan mereka.
Maka
orang tuanya melarang ia untuk bekerja disana, namun pemuda itu tetap ngotot dan
ingin tetap bekerja untuk melupakan kesedihannya. Maka ia pun merantau ke kota
besar untuk mencari pekerjaan, untuk melupakan kesedihannya. Namun ironi,
disana ia pun mendapatkan pekerjaan yang diluar dugaannya. Menjadi penjaga toko
milik orang cina, namun sayang ia tak boleh menginggalkan toko untuk sholat
jumat, maka ia gadaikan sholat jumat dia. Rasa dihatinya pun semakin menjadi,
baru tahu benar susuahnya mencari uang, berat sekali tantangan hidup ini. Ia
hanya bertahan selama satu bulan disana, karena ia tak ingin ia gadaikan
agamanya hanya untuk dunia.
Ia
kembali lagi kerumahnya, membenahi diri untuk menyiapkan segala hal untuk
bertarung mendapatkan kursi di perguruan tinggi impiannya. Niatnya masih
sangatlah besar, bahkan mengalahkan besarnya Gunung Mahameru yang ada di Jawa.
Ia mengikuti berbagai les privat dari hasil uang kerja yang ia dapatkan. Siang
malam ia belajar, mimpi-mimpi kembali ia rangkai, doa ia perkuat dan restu
orang tua kembali ia sampaikan. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama,
ini tahun terakhir dia berjuang untuk
kuliah, jika tidak maka bapaknya tidak akan menyekolahkannya lagi.
Waktu
demi waktu berganti, detik berganti menit, menit berganti jam, jam pun berganti
hari dan hari berganti dengan bulan. Waktu ujian masuk perguruan tinggi pun
tiba, sebisa mungkin ia kerjakan, hingga air matanya menenetes dikala doa ia
panjatkan.
“Ya
Allah ini Tahun terakhir hamba untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, maka berikanlah
yang terbaik bagi hamba Mu ini” sungguh doa-doa itu dipanjatkan dengan
sungguh-sungguh, saat ini bukan hanya untuk ego pribadi semata namun untuk
semua masa depannya.
Dan
hari pengumuman pun tlah tiba, tak ingin ia melihatnya, takut ia kecewa seperti
dulu, namun ia beranikan diri untuk melihat. Sedikit kekecewaan ia rasakan,
bukan kampus idamannya yang ia dapatkan namun ia yakin kampus ini adalah
pilihan Tuhan, jalan terbaik hidupnya. Namun satu hal, ia tidak mendapatkan
beasiswa seperti yang dia rencanakan, ia harus membayar Tujuh Juta untuk bisa
masuk ke sana. Ia tak tahu harus bagaimana bilang kepada orang tuanya, namun ia
harus beranikan diri.
“Pak
anakmu ini mau kuliah, tapi Idun tidak punya uang sama sekali. Beasiswa belum
bisa Idun dapatkan, tapi Idun janji pak nanti kalau Idun sudah kuliah, Idun
akan cari uang sendiri, Idun janji pak.”
Tak
mampu bapak dan ibunya menolak ke inginan anak terakhirnya. Segala cara mereka
lakukan demi membayar biaya kuliah anaknya, hingga mereka menjual sepeda motor
satu-satunya dan sebagian sawah yang mereka miliki. Mereka tahu bahwa niat
anaknya untuk kuliah sangatlah besar maka mereka hanya yakin satu hal,
menyerahkan dan mempercayakan masa depan pada anaknya.
Namun
sampai hari terakhir pendaftaran, uang yang dikumpulkan belumlah cukup. Padahal
itu kesempatan terakhir dia untuk kuliah, dan kampus tidak peduli dengan
kekurangan itu. Maka bapaknya yang sudah tua renta kesana kemari demi mencari
pinjaman uangan. Sekali lagi itu ia lakukan demi anaknya. Betapa bapaknya
sungguh mencintai anaknya dengan begitu besar. Bapak yang dulu begitu keras,
kasar, egois, suka marah-marah, namun ia sangat mencintai anaknya. Dari sejak
itu sang anak mengerti betapa bapaknya sangat mencintainya, mencintainya lebih
dari apapun. Maka janjinya semakin ia bulatkan, ia tak ingin mengecewakan mereka.
*****
Dunia
kampus ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Banyak sekali kebutuhan yang ia
harus penuhi. Apalagi jurusan yang saat ini dia ambil mengharuskan ia untuk
mempunyai leptop, belum lagi biaya hidup dan kegiatan-kegiatan yang lainnya.
Ingin anak itu membatalkan niatnya untuk kuliah, tapi perjuangan orang tuanya
selama ini yang membuat dirinya bertahan.
Tahun
pertama, Bapaknya masih bisa membiayai dirinya kuliah namun di tahun
selanjutnya kebutuhan semakin banyak, dan pendapatan orang tuanya semakin
sedikit. Sering kali pemuda itu pergi ke masjid kampus, menangis di sudut ruang
dan menengadahkan tangan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia selalu berdoa, saat
ini ia belum ada yang mencukupi dalam kebutuhannya, maka biarkan Tuhan yang
memenuhi.
Tahun
Kedua adalah tahun yang paling berat, di kala semua kebutuhan sudah semakin mendesak
dan leptop satu-satunya barang yang ia miliki dicuri orang. Ia hanya bisa
pasrah dan menyerahkan semua kepada sang pencipta.
Dikala
semua telah pada asanya, Allah pun menganugerahkan rezeki yang tak ia
duga-duga. Ia mendapatkan beasiswa bidikmisi dari kampusnya, beasiswa yang
menangunggung seluruh biaya sekolahnya sampai akhir kuliah nanti.
“Maka ni’mat Tuhan Mu yang mana lagi yang akan
kau dustakan?”.
Syukur
tak henti-hentinya ia panjatkan. Tak tahu apa yang dia rasakan saat itu juga,
bercampur aduk menjadi satu. Namun satu hal, ia tak ingin menyia-nyiakan semua
kesempatan yang Allah berikan kepadanya, tak ingin mengecewakan siapapun juga
dan akan menggunakan apa yang telah dianugerahkan dengan sebaik-baiknya. Itu
janjinya, janji untuk kesekian kalinya.
######
Malam
semakin larut, desiran angin malam semakin terasa, rintikan hujan pun sudah
berhenti sedari tadi. Pemuda itu masih saja asik merenung dan membuka semua
tabir masa lalunya, bukan untuk apa-apa, hanya ingin menumbuhkan semangat
setiap kali rasa jenuh datang menghampiri.
Dilihatnya
jam digital dari handphonenya, pukul
21.58 WIB telah menunjukan. Maka ia langkahkan kakinya kembali ke ruangan
tempatnya berjuang.
######
Perjuangannya
selama ini pun membuahkan hasil, tak banyak memang, namun itu semua di luar
dugaannya. Dari awal semenjak dia menapakan kaki di kampus, ia telah mengikuti
berbagai organisasi, menjadi peserta terbaik di berbagai kegiatan dan pelatihan.
Menjadi MC di mana-mana, menjadi moderator di berbagai acara dan saat ini
merambah menjadi pembicara di kampusnya. Dari tempat kecil ia jejaki, namun ia
percaya Tuhan akan menghantarkan kepada kesuksesan selanjutnya. Dan saat ini
dia diamanahi banyak organisasi, salah satunya menjadi orang penting di
fakultasnya, menganal banyak orang dari seluruh Indonesia, menapaki jejak
setapak demi setapak bumi Tuhan, bukan apa-apa, namun hanya untuk melihat
kuasa-Nya. Banyak hal yang ia kadang lewatkan, dan satu hal apa yang dulu ia tuntut
kepada Tuhan, ternyata Allah memberikan kesempataan yang lebih besar dari pada
yang ia duga.
Mimpi
dia selanjutnya adalah menjadi orang besar, menjadi orang yang bisa
menginspirasi seluruh negeri. Bukan untuk dikenal namun untuk dipelajari, bukan
untuk sombong namun untuk dipahami. “Hidup hanya sekali maka menualah dengan
karya dan inspirasi” kata Ridwan Kamil.
“Maka ni’mat Tuhan Mu yang mana lagi yang akan
kau dustakan?”
Semarang,
03 November 2015
sangat menginspirasi, mas idun
BalasHapusMasya ALLAH, hanya tetes embun haru yang menyertai akhir kisah dalam tulisan ini, sungguh tak mampu berkomentar apa-apa lagi. Good luck. Semoga ALLAH senantiasa membimbing langkahmu, Saudaraku.
BalasHapusmenginspirasi!:-), tapi timbul banyak pertanyaan sebenarnya dri pemaparan tulisanmu mas idun..
BalasHapusmenginspirasi!:-), tapi timbul banyak pertanyaan sebenarnya dri pemaparan tulisanmu mas idun..
BalasHapusmenginspirasi!:-), tapi timbul banyak pertanyaan sebenarnya dri pemaparan tulisanmu mas idun..
BalasHapusSukses selalu dun...
BalasHapusTerima Kasih atas semua tanggapannya semoga bisa menjadi pemebelajaran dan ada hikmah yang diambil :)
BalasHapus@Jeni Lestari: Pertanyaan apa de?? :)