Dream what you want to dream, go where you want to go, be what you want to be, because you have only one life and one chance to do all the things you want to do.

Pages

Cari Blog Ini

Sabtu, 26 Desember 2015

Anugerah Di Penghujung Asa*

Malam ini sedikit tetes air hujan membasahi bumi, hanya sedikit, namun toh itu memberikan sedikit penghidupan bagi yang mengharapkan, mengembalikan setitik semangat bagi jiwa yang membutuhkan dan memberikan secuil kabar gembira bagi yang menantikan.
Diantara dinginnya malam, seorang pemuda berdiri di antara rumput dan pepohonan, di antara jalan dengan suara kebisingan, ya dia sendiri, hanya sendiri. Sedikit bibirnya tersinggung semu, antar bahagia atau kecewa, toh siapa yang peduli. Senyumnya tersembunyi dibalik gelapnya malam, yang terlihat hanya sinar matanya yang memandang jauh, menerawang entah negeri mana yang saat ini ia tuju. Selalu, senang sekali ia bersembunyi dibalik malam gelap, menelisik setiap kerinduan perjuangan masa lalu atau bermimpi akan pencapaian masa depan. Ya seperti malam ini ia lakukan. Menyendiri.
Semua memori otaknya kembali ke masa lalu, flashback pada semua perjuangan kala itu. Sebuah perjuangaan yang mengaduk semua perasaan, tangis, sedih, gembira, duka, cita, cinta, semangat, mimpi dan pengharapan. Toh apalah guna mengingat itu semua, bukankah itu semua sudah berlalu, namun pemuda itu selalu saja asik mengingatnya.
Antara syukur dan terharu, antara bahagia dan kecewa. Ya, saat ini usianya menginjak 22 tahun, belum banyak prestasi yang ia dapat, belum ada kontribusi besar yang ia berikan dan belum sempat ia membahagiakan orang tuanya, namun ia bersyukur atas jalan yang Tuhan telah pilihkan untuknya. Jalan yang tidak pernah ada dalam lembaran mimpi maupun dalam bayangannya, namun Tuhan memberikan lebih atas doa-doanya.
*****
“Bapak saya ingin kuliah pak. Masalah biaya insyaallah Idun akan daftar beasiswa, biar bapak dan ibu tidak terlalu keberatan menanggung biaya kuliah idun. Bapak dan ibu doakan saja, semoga idun sukses dan bisa membahagiakan bapak ibu”
Itulah kata-kata yang pertama kali terucap, dengan sedikit ketakutan namun terucap pasti, ia katakan kepada orang tuanya. Ya anak kecil yang biasa dipanggil Idun oleh orang tua dan orang-orang di desanya itu seorang anak petani. Bapaknya seorang buruh tani dengan usia renta. Sakit-sakitan mulai usia mudalah yang menjadikan bapaknya sudah tidak lagi bisa dikatakan layak kerja. Ibunya hanya seorang pedagang sayur keliling, yang setiap hari bangun dikala mentari belum datang menjelang, dan dibalut dengan dinginnya daerah kaki pegunungan, namun satu hal, ia tak pernah lelah menghadapi kejamnya kehidupan. Sosok orang tuanya lah yang membangkitkan semangat, mimpi dan cita-cita Idun menjadi orang besar. Menjadi orang yang meniupkan sedikit kebahagiaan di keluarganya, dan menyinggungkan senyum kebanggaan di bibir orang tuanya. Ya Idun ingin mereka bangga.
“Bapak dan Ibu hanya bisa mendoakan le, agar kamu menjadi orang sukses” kata-katanya bergetar namun penuh dengan keikhlasan. Entah apa yang difikirkan orang tua itu, mungkin rasa takut ketika ia tidak bisa memberikan yang terbaik bagi anaknya, tidak bisa mencukupi semua kebutuhannya, namun disana juga ada rasa bangga atas keberaniaan anaknya. Jarang sekali pemuda desa sini yang mau kuliah, kebanyakan setelah lulus SMA pastinya mereka kerja atau malah langsung menikah. namun satu hal yang orang tua itu percaya “Allah maha menghidupi” maka biarkan Tuhan yang menjaga anaknya dikemudian hari.
#####
Air mata pemuda itu membasahi pipi, tak terasa, begitu saja mengalir. Selalu saja begitu, ketika ia mengingat orang tuanya, maka selalu air matanya pun tak mampu ia bendung. Pengorbanan dan perjuangan bapaknya semasa ia ingin kuliah selalu terbayang. Doa tulus dari sang ibu di setiap sujudnya selalu saja teringat. Pemuda itu tahu bapak ibunya tak lagi semuda dulu kala. Tubuh yang dulu tegap saat ini sudah bungkuk, tangan yang dulu begitu kuat saat ini mulai lemah, dan rambut yang dulu hitam kini sudah mulai putih, ditumbuhi uban diseluruh kepala. Namun pengorbanan dan perjuangan mereka untuk putranya itu begitu besar. Ia tak tahu apakah ia masih diberikan waktu untuk dapat membahagiakan kedua orang tuanya. Namun satu hal, doa setiap malam dan di kala sujudnya adalah berikan waktu untuk ia membahagiakan orang tuanya. Ia janji tak akan menghianati pengorbanan mereka, ia janji tak akan pernah menyia-nyiakan hidupnya, dan ia janji akan membalas semua kasih sayang orang tuanya.
*****
Perjuangannya untuk meraih mimpi menuntut ilmu di kampus harapannya pun dimulai. Setelah ia dinyatakan lulus dari sebuah pondok di Jawa Timur, ia mendaftar berbagai jalur di perguruan tinggi ternama. Siang malam ia belajar, doa pun selalu ia panjatkan, restu dari bapak, ibu, keluarga, saudara-saudaranya, kiyai, nyai, ustadz-ustadzah, dan teman-temannya pun ia minta. Namun satu hal, ternyata Allah belum mengizinkan ia menggapai mimpinya, meraih cita-citanya dan menepati janji kepada orang tuanya. Allah masih ingin ia berjuang dan mendekatkan diri kepada-Nya. Padahal berapa kali sudah ia mendaftar, berapa kampus sudah ia jelajahi dan berapa puluh beasiswa ia coba, sampai ia hafal seluk beluk semua beasiswa, sampai ia hafal seluruh kampus yang ada di negeri ini. Betapa sungguh-sungguhnya ia ingin belajar, namun satu hal kenapa Allah belum meridhoi.
“Gusti, Apakah kurang doa ini ku panjatkan? apakah kurang belajar siang malam yang sudah aku lakukan. Atau ada rencana lain yang ingin kau tunjukan” Tangis itu pun pecah di kala sujudnya. Ingin ia marah dan menghardik Tuhan, namun ia tahu bahwa itu tak berguna.  
Ia ingat dikala semua perguruan tinggi di negeri ini sudah tak ada tempat untuknya maka ia disarankan untuk mendaftar beasiswa ke Timur Tengah oleh ustadznya. Maka ia pun memberanikan diri untuk mendaftar, dan hanya berbekal satu tekad yaitu niat kuat untuk kuliah. Ia ikuti semua prosedur yang ada, hingga ia berjalan kesana kemari untuk mengurusi semua tahapan yang ada, padahal ia belum tahu tempat-tempat yang ia datangi, namun berbekal niat yang kuat ia langkahkan kaki melawan kerasnya hidup ini, hingga ia lupa satu hal, restu ibunya. Karena keegoisannya untuk kuliah ia mengabaikan ibunya, acuh atas kekhawatiran orang tuanya, dan tak menghiraukan setiap air mata yang keluar dari mata ibunya setiap kali ia ingat anaknya. Maka di saat ia akan berangkat menuntut ilmu ke luar negeri, pecah sudah kegundahan hatinya. Tak ingin ia menyaakiti hati ibunya, belum siap pemuda ini meninggalkan keluarganya, dan tak ingin ia jadi anak durhaka. Maka ia batalkan semua niat dia, mimpi dia, harapan dia dan cita-cita dia untuk kuliah tahun itu juga. Ia korbankan dan ia pendam dalam-dalam niat untuk kuliah, ia kubur dengan rasa perih dan sakit hatinya. Keinginan dia untuk kuliah tahun itu pun sirna, ia hanya termenung dalam diam. Membakar semua mimpi-mimpi yang dulu pernah ia tulis, merobek semua catatan rencananya yang telah ia bangun dan mengubur semua nadzar yang telah ia panjatkan.
*****
Senyum tersinggung dalam bibirnya, sungguh dia selalu saja ingin mentertawakan dirinya kala itu, mentertawakn semua kejadian di masa lalu. Sungguh baginya itu adalah masa yang paling berat, masa di mana ia bertarung antara keinginan dan realita, antara mimpi dan kenyataan dan antara niatan diri dan takdir Tuhan. Ia ingat sekali setelah ia membatalkan diri untuk berangkat ke luar negeri, maka itu adalah akhir dari semua harapan dia untuk kuliah tahun itu, dan ia harus menunggu satu tahun kemudian untuk mencoba lagi. Maka waktu satu tahun itu adalah masa yang paling kelam dalam hidupnya, masa yang paling berat dan masa yang tak dia inginkan. Ia seperti orang linglung, seperti orang yang tak memiliki lagi keinginan untuk hidup dan itu adalah titik terendah dalam hidupnya. Betapa besar niatnya untuk kuliah namun semesta tidak mendukungnya.
Maka satu tahun ia habiskan dengan kesibukan bekerja, bekerja apapun dan dimanapun. Ia mencari ke seluruh sudut kota, mencari selembar kertas yang tertempel dengan tulisan “Dibutuhkan seorang karyawan” atau kata-kata yang ia bisa datangi dan ia bisa menawarkan diri. Mencari kesibukan untuk menghilangkan rasa sedihnya, mencari kegiatan untuk menghapus air matanya, dan mencari sebuah tempat untuk melupakan semua keinginannya.
Sering kali ia berteria-teriak sendiri tak jelas maksudnya, termenung dibelakang rumah, dan berdiam diri di depan televisi hingga orang tuanya tak mampu untuk melihatnya. Ia ingin menghilangkan rasa sakit ini namun itu tidak bisa dihilangkan.
Ia pun terus mencari pekerjaan, ia langkahkan kaki setiap hari untuk pergi ke kota, mencari pekerjaan, bukan untuk mendapatkaan uang tapi untuk menghilangkan kekecewaan dalam hatinya. Beban ini lebih berat dari pada diputus cinta kawan, sungguh.
Maka ia dapatkan pekerjaan sebagai penjaga warnet dengan bayaraan hanya tiga belas ribu rupiah setiap hari. Baru saja ia bekerja satu minggu di sana, ketika pulang malam ia ditodong preman dan dihajar masa oleh preman kampung tetangga sebelah. Sungguh ironi, malam hari dengan segala kesedihan yang ia miliki, ia dihantam bogem-bogem preman yang tak tahu diri, namun satu hal ia tak merasa sakit, lebih sakit hatinya saat ini dari pada pukulan mereka.
Maka orang tuanya melarang ia untuk bekerja disana, namun pemuda itu tetap ngotot dan ingin tetap bekerja untuk melupakan kesedihannya. Maka ia pun merantau ke kota besar untuk mencari pekerjaan, untuk melupakan kesedihannya. Namun ironi, disana ia pun mendapatkan pekerjaan yang diluar dugaannya. Menjadi penjaga toko milik orang cina, namun sayang ia tak boleh menginggalkan toko untuk sholat jumat, maka ia gadaikan sholat jumat dia. Rasa dihatinya pun semakin menjadi, baru tahu benar susuahnya mencari uang, berat sekali tantangan hidup ini. Ia hanya bertahan selama satu bulan disana, karena ia tak ingin ia gadaikan agamanya hanya untuk dunia.
Ia kembali lagi kerumahnya, membenahi diri untuk menyiapkan segala hal untuk bertarung mendapatkan kursi di perguruan tinggi impiannya. Niatnya masih sangatlah besar, bahkan mengalahkan besarnya Gunung Mahameru yang ada di Jawa. Ia mengikuti berbagai les privat dari hasil uang kerja yang ia dapatkan. Siang malam ia belajar, mimpi-mimpi kembali ia rangkai, doa ia perkuat dan restu orang tua kembali ia sampaikan. Ia tak ingin mengulangi kesalahan yang sama, ini tahun terakhir dia berjuang untuk  kuliah, jika tidak maka bapaknya tidak akan menyekolahkannya lagi.
Waktu demi waktu berganti, detik berganti menit, menit berganti jam, jam pun berganti hari dan hari berganti dengan bulan. Waktu ujian masuk perguruan tinggi pun tiba, sebisa mungkin ia kerjakan, hingga air matanya menenetes dikala doa ia panjatkan.
“Ya Allah ini Tahun terakhir hamba untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, maka berikanlah yang terbaik bagi hamba Mu ini” sungguh doa-doa itu dipanjatkan dengan sungguh-sungguh, saat ini bukan hanya untuk ego pribadi semata namun untuk semua masa depannya.
Dan hari pengumuman pun tlah tiba, tak ingin ia melihatnya, takut ia kecewa seperti dulu, namun ia beranikan diri untuk melihat. Sedikit kekecewaan ia rasakan, bukan kampus idamannya yang ia dapatkan namun ia yakin kampus ini adalah pilihan Tuhan, jalan terbaik hidupnya. Namun satu hal, ia tidak mendapatkan beasiswa seperti yang dia rencanakan, ia harus membayar Tujuh Juta untuk bisa masuk ke sana. Ia tak tahu harus bagaimana bilang kepada orang tuanya, namun ia harus beranikan diri.
“Pak anakmu ini mau kuliah, tapi Idun tidak punya uang sama sekali. Beasiswa belum bisa Idun dapatkan, tapi Idun janji pak nanti kalau Idun sudah kuliah, Idun akan cari uang sendiri, Idun janji pak.”
Tak mampu bapak dan ibunya menolak ke inginan anak terakhirnya. Segala cara mereka lakukan demi membayar biaya kuliah anaknya, hingga mereka menjual sepeda motor satu-satunya dan sebagian sawah yang mereka miliki. Mereka tahu bahwa niat anaknya untuk kuliah sangatlah besar maka mereka hanya yakin satu hal, menyerahkan dan mempercayakan masa depan pada anaknya.
Namun sampai hari terakhir pendaftaran, uang yang dikumpulkan belumlah cukup. Padahal itu kesempatan terakhir dia untuk kuliah, dan kampus tidak peduli dengan kekurangan itu. Maka bapaknya yang sudah tua renta kesana kemari demi mencari pinjaman uangan. Sekali lagi itu ia lakukan demi anaknya. Betapa bapaknya sungguh mencintai anaknya dengan begitu besar. Bapak yang dulu begitu keras, kasar, egois, suka marah-marah, namun ia sangat mencintai anaknya. Dari sejak itu sang anak mengerti betapa bapaknya sangat mencintainya, mencintainya lebih dari apapun. Maka janjinya semakin ia bulatkan, ia tak ingin mengecewakan mereka.
*****
Dunia kampus ternyata tak semudah yang ia bayangkan. Banyak sekali kebutuhan yang ia harus penuhi. Apalagi jurusan yang saat ini dia ambil mengharuskan ia untuk mempunyai leptop, belum lagi biaya hidup dan kegiatan-kegiatan yang lainnya. Ingin anak itu membatalkan niatnya untuk kuliah, tapi perjuangan orang tuanya selama ini yang membuat dirinya bertahan.
Tahun pertama, Bapaknya masih bisa membiayai dirinya kuliah namun di tahun selanjutnya kebutuhan semakin banyak, dan pendapatan orang tuanya semakin sedikit. Sering kali pemuda itu pergi ke masjid kampus, menangis di sudut ruang dan menengadahkan tangan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia selalu berdoa, saat ini ia belum ada yang mencukupi dalam kebutuhannya, maka biarkan Tuhan yang memenuhi.
Tahun Kedua adalah tahun yang paling berat, di kala semua kebutuhan sudah semakin mendesak dan leptop satu-satunya barang yang ia miliki dicuri orang. Ia hanya bisa pasrah dan menyerahkan semua kepada sang pencipta.
Dikala semua telah pada asanya, Allah pun menganugerahkan rezeki yang tak ia duga-duga. Ia mendapatkan beasiswa bidikmisi dari kampusnya, beasiswa yang menangunggung seluruh biaya sekolahnya sampai akhir kuliah nanti.
 “Maka ni’mat Tuhan Mu yang mana lagi yang akan kau dustakan?”.
Syukur tak henti-hentinya ia panjatkan. Tak tahu apa yang dia rasakan saat itu juga, bercampur aduk menjadi satu. Namun satu hal, ia tak ingin menyia-nyiakan semua kesempatan yang Allah berikan kepadanya, tak ingin mengecewakan siapapun juga dan akan menggunakan apa yang telah dianugerahkan dengan sebaik-baiknya. Itu janjinya, janji untuk kesekian kalinya.
######
Malam semakin larut, desiran angin malam semakin terasa, rintikan hujan pun sudah berhenti sedari tadi. Pemuda itu masih saja asik merenung dan membuka semua tabir masa lalunya, bukan untuk apa-apa, hanya ingin menumbuhkan semangat setiap kali rasa jenuh datang menghampiri.
Dilihatnya jam digital dari handphonenya, pukul 21.58 WIB telah menunjukan. Maka ia langkahkan kakinya kembali ke ruangan tempatnya berjuang.
######
Perjuangannya selama ini pun membuahkan hasil, tak banyak memang, namun itu semua di luar dugaannya. Dari awal semenjak dia menapakan kaki di kampus, ia telah mengikuti berbagai organisasi, menjadi peserta terbaik di berbagai kegiatan dan pelatihan. Menjadi MC di mana-mana, menjadi moderator di berbagai acara dan saat ini merambah menjadi pembicara di kampusnya. Dari tempat kecil ia jejaki, namun ia percaya Tuhan akan menghantarkan kepada kesuksesan selanjutnya. Dan saat ini dia diamanahi banyak organisasi, salah satunya menjadi orang penting di fakultasnya, menganal banyak orang dari seluruh Indonesia, menapaki jejak setapak demi setapak bumi Tuhan, bukan apa-apa, namun hanya untuk melihat kuasa-Nya. Banyak hal yang ia kadang lewatkan, dan satu hal apa yang dulu ia tuntut kepada Tuhan, ternyata Allah memberikan kesempataan yang lebih besar dari pada yang ia duga.
Mimpi dia selanjutnya adalah menjadi orang besar, menjadi orang yang bisa menginspirasi seluruh negeri. Bukan untuk dikenal namun untuk dipelajari, bukan untuk sombong namun untuk dipahami. “Hidup hanya sekali maka menualah dengan karya dan inspirasi” kata Ridwan Kamil.
 “Maka ni’mat Tuhan Mu yang mana lagi yang akan kau dustakan?”


Semarang, 03 November 2015

7 komentar:

  1. sangat menginspirasi, mas idun

    BalasHapus
  2. Masya ALLAH, hanya tetes embun haru yang menyertai akhir kisah dalam tulisan ini, sungguh tak mampu berkomentar apa-apa lagi. Good luck. Semoga ALLAH senantiasa membimbing langkahmu, Saudaraku.

    BalasHapus
  3. menginspirasi!:-), tapi timbul banyak pertanyaan sebenarnya dri pemaparan tulisanmu mas idun..

    BalasHapus
  4. menginspirasi!:-), tapi timbul banyak pertanyaan sebenarnya dri pemaparan tulisanmu mas idun..

    BalasHapus
  5. menginspirasi!:-), tapi timbul banyak pertanyaan sebenarnya dri pemaparan tulisanmu mas idun..

    BalasHapus
  6. Terima Kasih atas semua tanggapannya semoga bisa menjadi pemebelajaran dan ada hikmah yang diambil :)
    @Jeni Lestari: Pertanyaan apa de?? :)

    BalasHapus